Pencarian ilmu pengetahuan-meliputi sains dan metode pengajarannya-secara tradisional digali dan dihasilkan dari universitas-universitas. Para penemu dan pengguna knowledge tersebut lantas memanfaatkan ilmu pengetahuan tadi untuk menciptakan suatu artifak, maka beralihlah knowledge menjadi teknologi. Dalam kaitan penciptaan teknologi, peran utama universitas adalah sebagai produsen knowledge, adapun universitas menempuhnya melalui proses belajar-mengajar (teaching university) dan riset. Pada gilirannya, seperti yang sudah berlangsung di negara-negara maju, teaching university dapat meningkatkan statusnya menjadi research university tatkala kegiatan riset di universitas tersebut kian banyak dan dominan. Riset memang terbukti berkontribusi besar dalam penciptaan teknologi baru.
Tetapi, sayangnya, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang lahir dari dunia perguruan tinggi itu sering kali kurang "menapak Bumi". Kebanyakan berbuah produk-produk iptek yang didoraong kepentingan riset akademis semata. Bukan produk yang berkembang atas permintaan "pasar" atau "pengguna akhir" (end user).
Dewasa ini, kecenderungannya sudah berbalik. Kian banyak penerapan iptek di universitas yang merupakan kebutuhan dan permintaan "pasar". Walhasil, iptek tidak lagi menjadi produk para ilmuwan yang semata-mata terkurung di laboratorium, pada bidang-bidang disiplin tertentu. Ia lebih merupakan produk yang diminati "pasar", yakni hasil pekerjaan lintas disiplin yang mendorong munculnya inovasi. Kian besarnya peran universitas untuk memenuhi permintaan pengguna akhir ini, telah mendorong pendidikan tinggi untuk berubah, seperti apa yang akhir-akhir ini terjadi di negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Di situ, banyak universitas menyesuaikan dirinya menjadi entrepreneurial university-sebuah gejala yang dipicu oleh perkembangan knowledge based economy.
Realitas baru entrepreneurial university ini sekaligus menunjukan gejala pergeseran arti pengetahuan itu sendiri: Dari pengetahuan (knowledge) sebagai tujuan akhir para ilmuwan semata, menjadi knowledge selaku sumber daya yang berguna bagi masyarakat luas, yakni manakala knowledge dicari, diperoleh, dan diaplikasikan untuk memutar roda ekonomi.
Dan, melalu iptek mutakhir, negara-negara berkembang termasuk Indonesia berupaya keras mengejar ketertinggalannya. Namun, jalan yang ditempuh tak selalu mulus. Penerapan iptek terdepan ini sering berakibat pada timbulnya masalah-masalah sosial, ekologi dan bahkan etis, sebagai dampak dari munculnya industri-industri baru berteknologi canggih (knowledge and technological based industry).
Serba-serbi Knowledge Management
Selamat Datang di Blog Serba-Serbi Knowledge Management
"Serba-serbi Knowledge Management adalah wadah informasi mengenai knowledge management yang sedang berkembang saat ini di Indonesia. Menyajikan teknik-teknik knowledge sharing dan membangun budaya learning organization yang benar. Cocok bagi mahasiswa, calon karyawan dan pemimpin perusahaan."
20 Agu 2010
Knowledge di Mata Pengguna Terakhir
9 Agu 2010
Resource Based View (RBV) dan Best Practice Sharing
Resource Based View (RBV) menerapkan KM untuk mencari faktor-faktor untuk mendorong akumulasi, dan penyebaran best practice sebagai knowledge dan kapabilitas rutin yang khas untuk mencapai kinerja yang efektif dan keunggulan pelayanan secara jangka panjang. Menurut pendekatan RBV, sumber daya dan kapabilitas merupakan tiang-tiang bangunan utama pada strategi organisasi (Carpenter & Sanders, 2007).
Sumber daya merupakan pendukung perusahaan untuk menciptakan produk dan delivery layanan. Perusahaan mempunyai sumber daya tertentu yang berwujud, seperti tenaga kerja yang terampil dan tak terampil, serta dana. Akan tetapi, ada pula sumber daya lain tidak berwujud yang khusus dibangun perusahaan untuk menjadi drivers bagi layanan yang berkualitas, seperti praktik terbaik tentang pengamanan pada aliran listrik ke pelanggan (studi kasus PLN).
Sedangkan kapabilitas adalah keterampilan dalam menggunakan sumber daya di atas dalam menciptakan produk dan jasa, atau kompetensi sebagai alternatif konsep kapabilitas. Kapabilitas dapat dimiliki oleh setiap individu, dan dapat pula diciptakan untuk berakar (embeddedness) pada organisasi yang mencakup banyak orang, seperti kebiasaan, pedoman, best practices dan rutinitasi sehingga kapabilitas tersebut dapat melembaga.
Kapabilitas juga merupakan kombinasi antara pedoman atau prosedur dan keterampilan karyawan dalam mewujudkan kegiatan yang khas utnuk menciptakan produk dan jasa yang unggul.
Pendekatan Resource Based View (RBV) yang telah banyak dipaai sebagai topik penelitian lebih mempunyai fokus pada sifat resource yang semakin heterogen (seperti aneka ragam best practices) yang membawa keunggulan daya saing atau faktor kualitas sumber daya internal yang tidak dapat ditiru, tidak dapat diganti, dan jarang dijumpai di antara pesaing.
Berdasarkan perspektif KM, sumber daya internal disebut sebagai repository of knowledge resource and capabilities, yang terdiri dari ekspertis dan pengalaman individu, rutin dan proses, atau cara melayani konsumen, dan semua itu diupayakan agar tercipta secara khas dalam doing things yang unggul pada perusahaan. Dalam hal ini, doing things yang khas adalah antara lain best practices.
Di China, masalah doing things dalam best practices tergolong masalah standardisasi yang penting untuk menjalankan kegiatan perusahaan dengan baik. Oleh sebab itu, standardisasi merupakan program nasional yang sangat ekstensif di China (de Vries, 2006). Pada akhir 2003, China telah memiliki 20.226 standard nasional yang diadaptasi dari standard internasional, 32.000 standar profesional, lebih dari 11.000 standar lokal dan lebih dari 860.000 standar perusahaan-perusahaan (Wen, 2004). Standardisasi dalam praktik bisanis pada dasarnya mencari the best of best practices (de Vries, 2006), apakah melalui benchmarking dari perusahaan lain, atau dari pengembangan internal sendiri.
Studi dari Fujimoto (1994) juga menemukan bahwa ketangguhan perusahaan otomotif Jepang bersumber dari best practices yang konkret dan luas, antara lain Just In Time (JIT), Jidoka (kegiatan deteksi otomatis tentang kemungkinan efek pada produk), Total Quality Management (TQM), continuous improvement (atau kaizen), dan pengurangan "muda" (kegiatan yang tidak memberi nilai tambah), serta transfer komponen antarmesin. Semua itu merupakan keunggulan perusahaan.
7 Agu 2010
Best Practice dalam Strategic Management
Menurut English & Baker (2006) praktik-praktik terbaik (best practice) didefinisikan sebagai berikut: "A process input, step, output, or enabling capability that fully satisfies customers, produces superior results in at least one operations, perform as reliably as any alternative elsewhere, and in adaptable by others." Sedangkan definisi yang lebih sederhana ditulis sebagai berikut: "A practice that fully satisfies customers, produces superior results in one operations, perform as reliably as any alternative, and can be adapted elsewhere."
Sedangkan definisi lainnya adalah: "Praktik terbaik (best practice) adalah metode/cara yang paling efisien dan efektif untuk mencapai suatu tujuan dengan prosedur-prosedur tertentu, terutama demi tujuan jangka panjang suatu organisasi, institusi, pemerintah, dan lain-lain." (Citizens are partners, OECD Handbook on Information, Consultation and Public Participation on Policy Making, 2006).
5 Agu 2010
Knowledge Praktis dan Teoritis
Knowledge merupakan suatu yang eksplisit sekaligus tacit, beberapa bentuk kalimat-kalimat, atau diekspresikan dalam bentuk gambar. Namun ada pula knowledge yang terkait erat dengan perasaan, keterampilan, dan bentuk bahasa utuh, persepsi pribadi, pengalaman fisik, petunjuk praktis, dan intuisi, dimana knowledge terbatinkan seperti itu sulit sekali digambarkan kepada orang lain. Penciptaan knowledge secara efektif tergantung pada konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut yaitu konteks yang memungkinkan terjadinya penciptaan knowledge yang dimunculkan oleh hubungan-hubungan. Seringkali, ada berbagai asumsi yang salah tentang knowledge management, tiga di antara asumsi yang salah tersebut adalah: 1). Jika infrastruktur teknologi informasi sudah dibangun, maka dengan senang hati berbagi knowledge antar sesama 2). Teknologi informasi dapat menggantikan kekuatan percakapan langsung dan memperlancar pertukaran knowledge 3). Sebuah organisasi harus terlebih dahulu membangun infrastruktur teknologi dan kultur belajar sebelum bisa belajar. Ketiga asumsi itu seringkali mengabaikan kenyataan bahwa KM sesungguhnya berawal dari satu kata yaitu: berbagi-bersama (share).
Tidak seluruh knowledge dengan serta merta dibagi bersama. Knowledge yang paling sering dibagi-bersama adalah knowledge praktis (know-how) sebuah organisasi, bukan knowledge teoritis (know-what). Berbagi bersama knowledge praktis ini sangat berguna jika dilakukan dalam konteks kegiatan bersama (team-work). Sangatlah penting bagi suatu organisasi untuk membedakan, mana knowledge kolektif yang diperlukan untuk kepentingan bersama. Secara umum, ada lima jenis kegiatan berbagi knowledge yaitu:
- Di dalam satu kelompok untuk pekerjaan rutin yang serupa dan terus menerus.
- Antara dua atau lebih kelompok yang berbeda tetapi melakukan pekerjaan yang hampir sama.
- Antara dua atau lebih kelompok, tetapi yang dibagi bersama adalah knowledge tentang pekerjaan non-rutin.
- Antarorganisasi dalam rangka kelangsungan hidup bersama.
- Dari luar kelompok, ketika menghadapi persoalan yang belum pernah mereka jumpai sebelumnya.
26 Jul 2010
Alasan Tidak Mau Berbagi Knowledge
Mengapa orang tidak senang untuk berbagi knowledge? Mungkin beberapa hal berikut dapat menjelaskan pertanyaan diatas:
- Mau untuk berbagi, tetapi tidak punya waktu untuk mengerjakannya.
- Tidak ada keterampilan dalam teknik Knowledge Management.
- Tidak memahami Knowledge Management dan keuntungannya.
- Kurangnya teknologi yang sesuai (appropriate).
- Tidak ada tanggung jawab dan tindak lanjut (commitment) dari manajer senior.
- Tidak ada biaya untuk Knowledge Management.
- Kegagalan budaya untuk mendorong berbagi knowledge (sharing knowledge).